Benedikta Prischilla Neonbeni she/her
Header
Director
NTT Yayasan Kuan Mnsai Foundation
Participant: 2020 Indonesia Grassroots Accelerator
Global
Header
East Nusa Tenggara
Header
Indonesia
Benedikta Prischilla Neonbeni she/her
Header
Director
NTT Yayasan Kuan Mnsai Foundation
Participant: 2020 Indonesia Grassroots Accelerator
Defending environmental governance by Indigenous women in Timor, NTT.
Benedikta Prischilla Neonbeni is an Indigenous community organizer in Timor, Nusa Tenggara Timur, who has been part of NGOs concerned with environmental advocacy, women’s rights, and sociocultural advocacy for over 25 years. Her work around ecological issues intensified in 1996, when a flood of investors came into her region with forestry concessions and mining interests. From there, Benedikta became a community organizer, educating local communities about their rights to land and forest. Since 1998, she has directed the NTT Yayasan Kuan Mnasi Foundation, which advocates against the pledging of locally-owned forests and land by mining companies who seek to exploit natural resources. The word Kuan Mnasi comes from the local language of Dawan Atoin Meto, and means “Old Village.”
Through Benedikta’s guidance, Indigenous people regained all agricultural lands and customary forests in the region in 2010. The natural resource forest exploration company left the site investment. Unfortunately, they also left behind forest destruction due to mining.
Now, Benedikta’s dream is to achieve legal status for customary forests, to build cultural assets based on nature, and to cultivate environmental management and ownership by Indigenous people. She aims to work towards this goal by building partnerships with women environmental leaders and environmental watch institutions at the national and international levels. She is also striving to become a national and international level Women’s Environmental Facilitator.
Mempertahankan tata kelola lingkungan oleh perempuan adat di Timor, NTT Mengenal dunia LSM sejak tahun 1994 hingga sekarang, masih menjadi seorang aktivis LSM yang konsen pada advokasi lingkungan, advokasi hak perempuan / kesetaraan gender, advokasi social budaya.
Menyelesaikan pendidikan S1 pada American Institude of Managemen study dalam bidang Indigenous peoples. Anak ke 5 ( lima ) dari pasangan Dominikus Eli Neonbeni ( alm ) dan Yakomina Dupe Neonbeni ( alhm) tahun 1968, memiliki 5 orang anak. Sejak tahun 1998 sampai sekarang sebagai Direktur yayasan Kuan Mnasi ( YKM ) NTT. Kata Kuan Mnasi, dalam bahasa local Dawan Atoin Meto. Dalm dalam bahasa Indonesia artinya Kampung Tua. YKM – NTT adalah juga anggota tetap Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI ), anggota Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara Pokja Gender, jaringan kerja Perempuan Indonesia Timur.
Sejak tahun 1997, banyak melakukan advokasi pengelolaan sumber daya alam ( lingkungan ) terutama pencamplokan hutan milik masyarakat adat ( hutan holistic ) serta lahan – lahan milik masyarakat adat, untuk kepentingan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahan perusahan pengelolah Hutan Tanaman Industri ( HTI ), perusahan Pertambangan Marmer, Mangan dan emas.
Masyarakat adat kehilangan sumber sumber pendapatan dari bertani lahan kering, serta terbatasnya akses menuju tempat ritual adat yang pada umumnya di wilayah Nusa tenggara Timur masyarakat adat memiliki tempatn ritual berupa Batu dan air ( Faut kanaf ma Oe kanaf ) serta kuburan / makam para leluhur yang terletak didalam hutan holistic.
Berkat Perjuangan bersama Yayasan Kuan Mnasi ( YKM ) bersama masyarakat adat dalam merebut kembali ( reclaim ) hutan adat dan lahan pertanian masyarakat adat, membuahkan hasil, pada tahun 2010 semua lahan pertanian dan hutan masyarakat adat diambil kembali dan perusahan eksplorasi hutan sumber daya alam meninggalkan lokasi investasi, serta meninggalkan kerusakan hutan akibat penambangan.
Impian dan harapan kedepan adalah memperjuangkan Status hukum atas hutan-hutan adat, dan membangun asset asset wisata budaya yang berbasis alam dan lingkungan yang terkelola dengan baik dan menjadi kantong ekonomi masyarakat adat sebagai pemilik.
Selain itu, hasil kajian antropologinya digunakan juga pada dokumen perencanaan hutan selama 10 tahun oleh unit pengelolaan hutan di tingkat tapak dengan menghadirkan perspektif gender dan mitigasi konflik. Dalam melakukan risetnya, Astri kerap menggunakan metode-metode yang didukung dari latar belakang pendidikannya di ilmu antropologi.