Suraiya Kamaruzzaman she/her
Header
Founder
Flower Aceh Foundation
Participant: 2020 Indonesia Grassroots Accelerator
Global
Header
Sumatera, Aceh
Header
Indonesia
Affiliations & Roles
Head, UNYiah Climate Change Research Center (ACCI) Aceh Besar; Member, District Regional Education Council (MPD)
Suraiya Kamaruzzaman she/her
Header
Founder
Flower Aceh Foundation
Participant: 2020 Indonesia Grassroots Accelerator
Implementing local and international campaigns to empower women as conservation leaders in Aceh.
Suraiya Kamaruzzaman is a longtime human rights and conservation activist. She started her fight for the rights of marginal women when she established the Flower Aceh Foundation in 1989, at age 21. The main objective of the Foundation is to fight for environmental protection, as well as the economic rights and reproductive health of vulnerable and marginalized women. In 1995 and 1996, she worked on a project to preserve and revitalize mangroves by studying eco-economic impacts and mangrove growers in Lampageu, Lamguron, and Lambadeuk Villages, Peukan Bada District, Aceh Besar.
During the armed military conflict in Aceh, Suriya and her team at Flower Aceh began to collect data on human rights violations, including data on women survivors of sexual violence. Together they provided psychosocial assistance to survivors and ran campaigns and lobbies to stop violence in Aceh at the national, regional, and international levels.
Starting in 1999, Suraiya began collaborating with local, national, and international NGOs. She regularly attended the UN session in Geneva to advocate in cases of sexual violence against women during armed military operations in Aceh and to carry out speaking tours, lobbies, and campaigns in Europe to gain international support to cease violence in Aceh. In February 2000, she became Chairperson of the Steering Committee Duek Pakat Inong Aceh, the first Aceh Women Congress, where she was involved in drafting plans and advocating for women’s and children’s rights. Suraiya also promoted women’s participation in peace through articles published in various media.
Since 2016, Suraiya has been the Coordinator of the Shared Resource Joint Solutions (SRJS) Program, a collaboration between the International Union for Conservation of Nature, WWF, and the Dutch Ministry of Foreign Affairs. On behalf of Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSuIA), a network of organizations that she co-founded to uplift Acehnese women, they carry out the program across eight cities in Aceh. Alongside the Balai Syura SRJS team, Suraiya led the process of making gender-based and inclusive natural resource management education modules, conducted training for environmental activists, and strengthened women’s groups to develop non-timber economic enterprises. Together with her team, Suraiya also developed a tool to measure the implementation of gender-based natural resource management programs and policy advocacy for the implementation of gender-responsive environmental development.
Since January 2017, Suraiya has been the Head of the Unsyiah Climate Change Research Center (ACCI), which conducts research, publications, seminars, and regular discussions on climate change issues. Since 2019, she has been a member of the Aceh Besar District Regional Education Council (MPD) and in 2020 was the Head of Women Empowerment Division for the Prevention of Terrorism Coordination Forum (FKPT) in Aceh.
Because of her dedication and struggle, Suraiya has received numerous awards, including the Women’s Peace Activists Award by the Minister of Empowerment for the Protection of Women and Children in April 2017, becoming one of 72 Icon Achievements in Indonesia by The PIP Presidential Work Unit in August 2017 and the Award from IKAWAPI in the Social Activists category in 2018.
Currently, Suraiya is continuing her work to shift economic practices in Aceh away from illegal logging. Across five villages, she is empowering women to harvest mangrove syrup and fish as alternatives. She wants to scale this program to add more content related to leadership and women’s position in society. Suraiya hopes to learn about leadership and project management in the Accelerator so she can share it with her target communities and implement it into her fundraising strategy. Suraiya has found that despite women’s local wisdom about conservation, they are still barely involved in the planning, decision making, and implementation of conservation programs. She plans to audit her research on these issues to start measuring the relationship between gender inclusivity and conservation.
Melaksanakan kampanye lokal dan internasional untuk memberdayakan perempuan sebagai pemimpin konservasi di Aceh
Suraiya Kamaruzzaman memiliki sejarah panjang sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan konservasi. Melakukan kegiatan dalam penguatan dan pemenuhan hak perempuan menjadi komitmen dan pilihan hidupnya. Ia mulai menekuni aktivitas sosial dan kemanusiaan, memperjuangkan hak-hak Perempuan marginal sejak usia 21 tahun dengan mendirikan Yayasan Flower Aceh (FA) pada tahun 1989. Tujuan utama dari yayasan ini adalah untuk perlindungan lingkungan hidup, dan untuk memperjuangkan hak-hak ekonomi dan kesehatan reproduksi perempuan rentan dan terpinggirkan. Pada tahun 1995-1996 bersama Yadesa (konsorsium), ia melakukan projek untuk melindungi dan revitalisasi hutan bakau dengan melakukan studi dampak eko–ekonomi dan penanam bakau di Desa Lampageu, Lamguron dan Desa Lambadeuk Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.
Selama situasi konflik militer bersenjata di Aceh, melalui Flower Aceh, ia dan timnya mulai mengumpulkan data-data pelanggaran HAM, terutama data tentang perempuan korban kekerasan seksual, perempuan yang kehilangan akses ekonomi, atau kehilangan anak atau suaminya. Ia dan timnya juga melakukan pendampingan psikososial terhadap perempuan korban kekerasan seksual, kampanye dan lobi untuk menghentikan kekerasan di Aceh di tingkat nasional, regional, dan internasional.
Mulai tahun 1999, Suraiya mulai bekerjasama dengan NGO lokal, nasional dan internasional. Secara reguler, ia menghadiri sidang PBB di Geneva untuk mengadvokasi kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama operasi militer bersenjata di Aceh dan melakukan speaking tour, lobi, dan kampanye di Eropa untuk mendapat dukungan masyarakat internasional untuk menghentikan kekerasan di Aceh. Pada Februari 2000, Ia menjadi Ketua Steering Committee Duek Pakat Inong Aceh, Kongres Perempuan Aceh pertama, dimana ia terlibat dalam menyusun draf dan advokasi Rencana Aksi Nasional UN 1325 yang disahkan melalui Perpres No. 18 tahun 2014. Di tingkat lokal, ia juga terlibat dalam menyusun draf Piagam hak perempuan Aceh dan advoksi, termasuk advokasi qanun, serta Peraturan Bupati/Gubernur untuk pencapaian SPM dalam pelayanan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Suraiya juga mempromosikan partisipasi Perempuan dalam perdamaian melalui tulisannya di berbagai media.
Sejak tahun 2016, ia menjadi Koordinator Program Shared Resource Joint Solutions (SRJS) yang merupakan kolaborasi antara International Union for Conservation of Nature (IUCN), WWF, dan Kementerian Luar Negeri Belanda. Atas nama Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSuIA), sebuah jaringan organisasi yang ia dirikan untuk mengangkat martabat perempuan Aceh, program SRJS Aceh dilakukan di 8 Kabupaten/Kota di Aceh. Bersama tim SRJS Balai Syura, Ia memimpin proses pembuatan modul pendidikan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) berbasis gender dan inklusi, melaksanakan pelatihan untuk aktivis lingkungan, dan melakukan penguatan kelompok perempuan di komunitas untuk mengembangkan usaha ekonomi berbasis SDA non kayu. Ia bersama timnya juga membuat alat untuk mengukur pelaksanaan program pengelolaan SDA berbasis gender dan inklusi, dan advokasi kebijakan (Peraturan Gubernur) tentang pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup yang responsif gender.
Sejak Januari 2017 hingga sekarang, ia menjadi Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Unsyiah (Aceh Climate Change Initiative/ACCI), yang mana melakukan riset, publikasi, seminar, dan diskusi reguler terkait isu-isu perubahan iklim. Sejak 2019 hinga sekarang, ia telah menjadi salah satu anggota Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Aceh Besar dan pada 2020 menjadi Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan pada Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Aceh.
Karena dedikasi dan perjuangannya, Suraiya dianugerahi penghargaan, termasuk Penghargaan Perempuan Pegiat Perdamaian oleh Menteri Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak pada April 2017, dan menjadi satu dari 72 Ikon Prestasi Indonesia oleh Unit Kerja Presiden PIP pada Agustus 2017, serta penghargaan dari IKAWAPI dalam kategori Pegiat Sosial pada tahun 2018.
Saat ini, Suraiya melanjutkan perjuangannya untuk merubah praktek ekonomi di Aceh jauh dari pembalakan liar. Ia memberdayakan perempuan di lima desa untuk memanen sirup dan ikan bakau sebagai alternatif. Ia ingin meningkatkan programnya untuk menambah konten yang berkaitan dengan kepemimpinan dan posisi perempuan di masyarakat. Suraiya berharap dapat belajar mengenai kepemimpinan dan manajemen proyek di Program Akselerasi ini sehingga ia dapat membagikan ilmunya kepada komunitas yang ia tuju dan mempraktekannya pada strategi penggalangan dana. Suraiya menyadari bahwa perempuan masih belum dilibatkan di dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan implementasi program konservasi. Ia berencana melakukan audit pada penelitiannya mengenai hal ini untuk mulai mengukur hubungan antara gender inklusi dan konservasi.